Cari Blog Ini

Selasa, 25 Juni 2013

Materi Ketenagakerjaan

Slide power point untuk hukum ketenagakerjaan sampai UTS
#Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Lippo Village

Bahan UTS bab 1-5
Bahan UAS bab 6-10



http://www.ziddu.com/download/22432432/1.Presentation.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22432434/2.TheScopeofLabourLaw.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22432431/3.WorkRelation.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22432433/4.HubunganIndustrial.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22432430/5.WorkUnion.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22703225/6.ManpowerProtection.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22703227/8.ManpowerSocialSecurity.ppt.html

http://www.ziddu.com/download/22703223/10.IndustrialRelationsDisputesSettlement.ppt.html

Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik dan Hukum Administrasi Negara

HTN:
-organisasi neg
-hub alat kelengkapan neg
- susunan & wewenang
-hak & kewajiban WN

HTN &Ilmu Negara:
ilmu negara: asas2 + pengertian negara (syarat yg hrs di penuhi negara)
HTN: aturan hk yg atur organisasi negara di negara tertentu (HTN +)


HTN &Ilmu Politik:
J.Barent : HTN adl kerangka manusia, Politik adl daging disekitar
R.A Gani : HTN atur organisasi negara, Politik pelajari organisasi neg mencapai tujuan

HTN&HAN:
Kelompok 1=HTN & HAN beda
HTN: atur susunan & wewenang organ negara
HAN: atur hubungan yg memerintah dg yg diperintah

pembatasan kewenangan
1.klasik (1919): HAN berikan pembatasan pada kebebasan pemerintah utk melindungi rakyat
2. Modern (1926) : membatasi HAN+ berikan kewajiban yg rinci pd rakyat

Kelompok 2= HAN=HTN
aliran Kranenburg, Van der Pot, Vegting
Kranenburg : HTN &HAN seperti hk. perdata n hk dagang. beda: TIDAK prinsip

BAB II RUANG LINGKUP HUKUM KETENAGAKERJAAN

BAB II
RUANG LINGKUP HUKUM KETENAGAKERJAAN

1.     Istilah-istilah dalam Ketenagakerjaan
Sebelum mempelajari lebih jauh mengenai hukum ketenagakerjaan, ada baiknya lebih dahulu dipahami beberapa istilah dalam ketenagakerjaan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pengertian. Berikut ini adalah istilah-istilah berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang umum dijumpai dan perlu diketahui.
a.       Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
b.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
c.       Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
d.      Pengusaha adalah :
1.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3.      orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
e.       Perusahaan adalah :
1.      setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
2.      usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
f.        Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
g.       Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
h.      Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
i.         Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
j.         Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

Istilah dalam ketenagakerjaan tidak terbatas pada definisi-definisi tersebut. Masih banyak istilah lain selain yang telah dipaparkan sebelumnya, dan definisi dari istilah-istilah tersebut juga memungkinkan terdapat perbedaan. Namun untuk menyamakan konsep, selama suatu istilah dapat ditemukan pengertian ataupun penjelasannya dalam hukum positif, maka yang digunakan adalah pengertian atau penjelasan dalam hukum positif.

2.     Sejarah dan Politik Hukum Ketenagakerjaan
2.1.            Masa sebelum Kemerdekaan
Masa ini pada prinsipnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu masa perbudakan, masa penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang.

2.1.1.      Masa perbudakan
Keadaan di Indonesia pada masa ini dapat dikatakan lebih baik dibandingkan keadaan di negara lain karena di Indonesia telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adalah milik Belanda, yang berarti menyangkut perekonomian serta hidup dan matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku tergantung pada tingkat kewibawaan penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat matinya raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh lainnya budak yang dimiliki oleh suku Baree Toraja di Sulawesi Tengah nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.

Selain itu, dikenal lembaga perhambaan dan peruluran. Imam Soepomo menggambarkan lembaga perhambaan dan peruluran sebagai berikut. Lembaga perhambaan terjadi apabila ada hubungan pinjam-meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang-piutang. Orang yang berutang sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa membayar utangnya. Pada saat itu pula orang yang berutang menyerahkan dirinya atau menyerahkan orang lain kepada si kreditur, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga dari utang.

Selanjutnya orang yang diserahkan diharuskan untuk bekerja kepada orang yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya. Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bunga dari utang itu. Bukan untuk membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama dengan perbudakan.

Lembaga peruluran terjadi setelah Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang ada di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Yang sempat melarikan diri ada yang menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih kosong itu diberikan atau dibagi-bagikan kepada bekas pegawai Kompeni atau orang lain. Orang yang diberi kebun itu dinamakan perk. Kepemilikan hanya terbatas pada saat orang itu tinggal di kebun itu dan wajib tanam.

Hasil dari wajib tanam itu wajib untuk dijual kepada Kompeni saja dengan harga yang telah ditentukan oleh Kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari kebun itu, ia akan kehilangan hak atas kebun itu. Wajib tanam ini kemudian menjadi bagian dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863.

2.1.2.      Masa penjajahan Hindia Belanda
Pada masa ini, sebenarnya tidak untuk seluruh wilayah Indonesia karena pada saat itu masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Masa ini meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi, dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-1816, saat pendudukan Inggris, di bawah Thomas Stamford Raffles, ia mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertujuan menghapus perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian Inggris ditarik mundur.

Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan dari rempah-rempah dan perkebunan. Untuk kepentingan politik imperialismenya, pembangunan sarana prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya, Hendrik Willem Daendels (1807-1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan (Banyuwangi).

Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesar Indonesia), dan rodi desa (untuk kepentingan desa).

Rodi untuk para pembesar dan gubernemen (disebut pancen) sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada mereka. Convention no. 29 concerning forced or compulsory labour (kerja paksa atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933), tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang.

Selanjutnya menurut Jan Breman, poenale sanctie diterapkan dalam kaitannya dengan penerapan koeli ordinantie serta agrarische wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di tanah pertanian.

Poenale sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak kerja. Kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan apabila buruh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat mengakhiri hubungan kerja.

Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenale sanctie, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati. Hal itu berakhir dengan dicabutnya koeli ordonantie 1931/1936 dengan Stb. 1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.

2.1.3.      Masa penjajahan Jepang
Masa ini dimulai pada tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer Jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur.

Politik hukum masa penjajahan Jepang, diterapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya.

Pada masa ini diterapkan romusha dan konrohosyi. Romusha adalah tenaga sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan dari Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan ke Riau sekitar 100.000 orang. Romusha lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka waktu yang pendek disebut kinrohosyi.

2.2.      Pasca Kemerdekaan
2.2.1.      Pemerintahan Soekarno
Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijakan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa menetapkan wilayah Negara Kesatuan RI dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.

Meskipun demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukkan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang, daripada produk hukum yang sekarang ini.

2.2.2.      Pemerintahan Soeharto
Pada masa pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah Repelita, tetapi sayangnya dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang.

Sebagai contoh dari hasil penelitian oleh Asri Wijayanti, pengerahan TKI keluar negeri pada masa pemerintahahn Soekarno, berdasarkan Pasal 2 TAP MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undang-undang perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. Selama masa pemerintahan Soeharto, ketentuan ini tidak pernah direalisasi. Peraturan tersebut akhirnya dicabut pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai kelanjutannya, Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.

Tugas tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan. Akibatnya pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan/keputusan Menteri Tenaga Kerja saja, sehingga tingkat perlindungan hukumnya kurang jika dibandingkan dengan undang-undang. Selain itu untuk mensukseskan pembangunan ekonomi maka investor, yang tidak lain adalah majikan, mempunyai kedudukan secara politis kuat dengan penguasa.
Kedudukan buruh semakin lemah dengan dalih hubungan industrial Pancasila, hak buruh dikurangi dengan hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), serta apabila ada masalah hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer (Permenaker No. Per.342/Men/1986). Contohnya kasus Marsinah, aktivis buruh, di Sidoarjo.

2.3.      Pasca Reformasi
2.3.1.      Pemerintahan Habibie
Politik hukum pada masa ini ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problema negaranya sendiri tanpa menindas HAM serta punya andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Karena tekanan dari luar negeri maka Indonesia terpaksa meratifikasi Convention No. 182 concerning the Immediate Action to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah Indonesia mengakui telah memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.

2.3.2.      Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Di masa pemerintahan ini (Gusdur), politik hukum ketenagakerjaan meneruskan pemerintahan Habibie dengan penerapan demokrasi dengan adanya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Sayangnya masyarakat Indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga dengan banyaknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial semakin buruk.

2.3.3.      Pemerintahan Megawati
Perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak, malah yang banyak tampak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian. Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari Malaysia serta revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 oleh Megawati.

Terdapat fenomena menarik dari demo yang dilakukan antara buruh bersama-sama dengan majikan menentang kebaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air; serta penolakan serikat pekerja PT. Indosat atas privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset Negara. Catatan negatif pada masa ini adalah pengankapan para aktivis demonstran. Terhadap hal ini ada penadangan yang mengatakan bahwa Megawati telah melupakan cara ia dapat menduduki kursi kepresidenan melalui demonstrasi.

Politik hukum Megawati di dunia ketenagakerjaan yang dapat dirasakan langsung dampaknya setelah terjadi trgaedi bom Bali adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali sangat terasa pada perkeonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan Indonesia karena tidak terjaminnya keamanan Negara ditambah lagi tragedi bom Mariott. Hal ini berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan perkeonomian bangsa.

Untuk memulihkan sektor pariwisata, perlu kebijaksanaan publidengan pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum atau sesudahnya. Dampak negatif dari banyaknya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas bekerja, lebih menyenangi banyak hari libur nasional.

Disamping itu, dalam hubungan bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di Negara lain hari kerja, di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya transaksi dagang. Ada kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan jumlah hari libur yang banyak dan memungkinkan terciptanya etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah.

2.3.4.      Pemerintahan SBY
Di masa pemerintahan SBY, tampaknya ada sedikit perubahahn di bidang ketenagakerjaan, ada pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai. Ada upaya pemberantasan korupsi. Sayangnya tekad yang baik belum dapat diikuti oleh sebagain besar penduduk Indonesia yang sudah terlanjur korup dan tidak amanah di segala aspek kehidupan.



3.     Cakupan Hukum Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.13 tahun 2003) yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaaan hubungan industrial. Isinya meliputi:
BAB I        : Ketentuan Umum (Pasal 1);
BAB II       : Landasan, Asas, dan Tujuan (Pasal 2-4);
BAB III      : Kesempatan dan Perlakuan yang Sama (Pasal 5-6);
BAB IV      : Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan (Pasal 7-8);
BAB  V      : Pelatihan Kerja (Pasal 9-30);
BAB VI      : Penempatan Tenaga Kerja (Pasal 31-38);
BAB VII     : Perluasan Kesempatan Kerja (Pasal 39-41);
BAB VIII   : Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 42-49);
BAB IX      : Hubungan Kerj a(Pasal 50-66);
BAB X       : Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan (Pasal 67-101);
BAB XI      : Hubungan Industrial (Pasal 102-149);
BAB XII     : Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 150-172);
BAB XIII    : Pembinan (Pasal 173-175);
BAB XIV    : Pengawasan (Pasal 176-181);
BAB XV     : Penyidikan (Pasal 182);
BAB XVI    : Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (Pasal 183- 190);
BAB XVII  : Ketentuan Peralihan (Pasal 191);
BAB XVIII : Ketentuan Penutup (Pasal 192-193).

Dengan berlakunya UU Ketenagakerjaan, maka sesuai dengan Pasal 191 terdapat beberapa peraturan yang tidak berlaku lagi, yaitu:
1.            Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2.            Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3.            Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4.            Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5.            Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6.            Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7.            Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8.            Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9.            Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10.        Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11.        Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12.        Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
13.        Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14.        Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15.        Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).

UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara rinci mengenai penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI). UU tersebut mencabut UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Namun beberapa peraturan pelaksana dari kedua UU yang dicabut tersebut, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku sampai saat ini.

Sebelum istilah ketenagakerjaan digunakan, istilah “perburuhan” lah yang digunakan. Perubahan istilah ini dikarenakan terdapat perubahan ruang lingkup. Perburuhan hanya mencakup hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh, sedangkan ketenagakerjaan mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja. Hal ini berarti terdapat perluasan cakupan dalam bidang hukum yang mengatur tentang ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan hukum perburuhan. Hal ini dapat diketahui dengan menelusuri sejarah dan politik hukum dalam bidang ketenagakerjaan.

4.     Landasan, Asas, dan Tujuan
Landasan
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.

Asas
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a.       memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
b.      mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
c.       memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.      meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

5.     Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan
Agar dapat melaksanakan tujuan di bidang ketenagakerjaan tersebut, maka ditetapkan perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan sesuai amanat Pasal 7 UU Ketenagakerjaan, yaitu:
a                       a. Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
                  menyusun perencanaan tenaga kerja. 
             b. Perencanaan tenaga kerja meliputi :
 1.      perencanaan tenaga kerja makro; dan
 2.      perencanaan tenaga kerja mikro.
c.       Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja.

Berdasarkan Pasal 8 UU Ketenagakerjaan, perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :
a.       penduduk dan tenaga kerja;
b.      kesempatan kerja;
c.       pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d.      produktivitas tenaga kerja;
e.       hubungan industrial;
f.        kondisi lingkungan kerja;
g.       pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h.      jaminan sosial tenaga kerja.
Informasi ketenagakerjaan yang dimaksud, diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta

6.     Perlindungan dalam Hukum Ketenagakerjaan
Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Iman Soepomo meliputi lima bidang, yaitu:
            a.       Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja;
Perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra penempatan.
           b.      Bidang hubungan kerja;
Masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak mengadakan hubungan kerja, yang didasari dengan perjanjian kerja, baik dalam batas waktu tertentu maupun tanpa batas waktu.
           c.       Bidang kesehatan kerja;
Selama menjalani hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya.
          d.      Bidang keamanan kerja
Adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Negara mewajibkan pengusaha untuk menyediakan keamanan ataupun alat keamanan kerja bagi pekerja.
         e.       Bidang jaminan sosial.
Jaminan sosial bagi tenaga kerja telah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang biasa disingkat menjadi Jamsostek. Dengan diundangkannya UU tersebut, maka pengusaha tertentu wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek.

7.     Sifat dan Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Hukum Nasional
Sifat hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah privat karena mengatur hubungan antar individu. Namun hukum ketenagakerjaan juga dapat bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan dan terdapat sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah adalah dengan adanya perlindungan dari pemerintah melalui peraturan-peraturan yang mengikat pekerja/buruh dengan pengusaha; membina dan mengawasi proses hubungan industrial. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sifat dari hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah privat, tetapi juga memiliki sifat publik.

Berdasarkan sifatnya, hukum ketenagakerjaan memiliki kedudukan dalam tata hukum nasional Indonesia pada bidang hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum administrasi
Ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut 3 hal yaitu pejabat, lembaga, dan warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara di dalam perbuatan peraturan atau pemberian izin, bagaimana negara melakukan pencegahan terhdadap sesuatu hal yang dapat terjadi, dan bagaimana upaya hukumnya. Pemerintah sebagai penyelenggara negara di bidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi tersebut dengan baik.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata
Pada hakikatnya yang memegang peranan penting dalam hukum perdata adalah para pihak, dalam hal ini adalah pekerja/buruh dan pemberi kerja ataupun pengusaha. Hubungan antara mereka didasarkan pada perikatan yang diwujudkan dalam perjanjian kerja. Disini pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya sebagai fasilitator apabila terdapat perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Selain itu fungsi pengawasan dari pemerintah dapat maskimal apabila secara filosofis kedudukan pemerintah lebih tinggi dari yang diawasi.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum pidana
  • Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah pentingnya penerapan sanksi hukum bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan


Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam tata hukum nasional Indonesia secara teoritis dapat dipisahkan menjadi 3 bidang, yaitu bidang administrasi, bidang perdata, dan bidang pidana. Namun dalam praktiknya harus dijalankan secara bersamaan karena berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pekerja/buruh dengan pengusaha termasuk dalam bidang hukum perdata. Namun selama proses pembuatan, pelaksanaan, dan berakhirnya hubungan tersebut diawasi oleh pemerintah dalam rangka menjalani 3 fungsinya. Apabila selama proses-proses tersebut terdapat pelanggaran (tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku), maka dapat diterapkan sanksi pidana.


Definisi, Dasar Hukum Ketenagakerjaan Serta Peran Tenaga Kerja di Indonesia

BAB I
PENGANTAR

1.     Hukum Ketenagakerjaan
Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat sanksi. Ketenagakerjaan[1] adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

Hukum ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian. Namun secara perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan kerja tersebut.

2.     Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia adalah negara hukum dan menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini (s/d tahun 2011) terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama. Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil.

Pada dasarnya sumber hukum terbagi atas sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Jika didasarkan pada teori sumber hukum, maka sumber hukum ketenagakerjaan secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Sumber Hukum materiil (tempat dari mana materi hukum itu diambil)
Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.
b.      Sumber Hukum formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum).
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum ketenagakerjaan yaitu:
1.      Peraturan perundang-undangan
2.      Peraturan lainnya, seperti Instruksi Presiden; Keputusan Menteri; Peraturan Menteri; Surat Edaran Menteri; Keputusan Dirjen; dsb
3.      Kebiasaan
4.      Putusan
5.      Perjanjian, baik perjanjian kerja atau peraturan perusahaan


3.     Peran Tenaga Kerja dalam Pembangunan Indonesia
Tenaga kerja memiliki peranan krusial dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan, tetapi lebih khususnya pada pembangunan ekonomi. Hal ini tampak dalam bagian pertimbangan UU Ketenagakerjaan, yaitu:
a.       bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c.       bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.      bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.       bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.        bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a,b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.




[1] Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 1

Materi Kuliah Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (Semester Pendek)