CAHAYA KEHIDUPAN
By: Ivana Melati (XII IPA 2)
Aku tinggal di
sebuah desa yang bernama Shirakawa. Namaku Dormayane. Aku tinggal bersama kakek
dan nenekku sekarang. Sebelumnya, 25 tahun yang lalu, aku tinggal bersama orang
tuaku. Kami tinggal di kota Shizuoka. Kota ini sangat maju dimana semuanya serba elektronik. Disebabkan oleh suatu kecelakaan, aku berpisah dengan orang tuaku selamanya.
Saat itu kami mau berlibur, kami naik kereta api pada tanggal 9 November 1963, tetapi ketika kereta berada di Yokohama, Tokyo, tiba-tiba terjadi tabrakan dengan dua bus berpenumpang. Setelah itu, kereta keluar dari lintasan. Semua panik. Semua
berteriak-teriak. Aku sangat ketakutan. Saat itu, aku berada di dapur
makanan kereta. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Sekujur tubuhku gemetar, kaku serasa
mati. Tubuhku tidak dapat digerakan. Walau begitu, aku berusaha dengan sekuat tenaga berjalan masuk ke dalam toilet kereta untuk menghindari api yang
segera menyembur ke dapur makanan kereta. Sesaat setelah mendengar suara
sungkritan, kereta pun meledak. Tubuhku bertambah gemetar apalagi
setelah ku siram sekujur tubuh dengan air bak yang dingin bagaikan es kutub. Semua
pakaianku basah. Aku berbuat sedemikian rupa agar tubuhku tidak terkena api. Tepat seperti yang ku duga, aku selamat padahal gerbong di sebelah telah termakan api
semuanya. Gerbong dimana aku berada sudah mulai dilahap si jago merah. Segera
ku dengar banyak orang-orang berteriak dan menyiram air.
Mengerikan
sekali ketika ada orang yang melompat dari gerbong sebelah dengan api di sekujur
tubuhnya. Dengan sigap namun bercampur ngeri, aku memberanikan diri menyiram tubuhnya dengan segayung
air. Seram sekali untuk anak seusiaku. Seorang anak yang baru berumur 10 tahun
melihat orang terbakar hidup-hidup dan menolongnya namun melihat bekas bakar
api di tubuhnya. Merah dan tampak agak berlendir, serta lengket. Orang itu
berteriak-teriak. Aku jadi tambah ngeri. Mendengar teriakan itu, tim penolong
segera ke gerbong tempat kami berada. Pak Megyort ketua tim penolong itu. Dia bersama teman-temannya berlari
ke gerbong kami dan segera mengevakuasi kami. Orang yang luka bakar itu segera
dilarikan kerumah sakit dengan ambulance namun kulihat tim medis memasang banyak selang di beberapa bagian tubuhnya. Segera kualihkan pandangan
pada Pak Megyort yang tampak sangat heran dengan keberadaanku. Aku jadi bengong. Dia
segera menggendongku, mungkin dia tahu aku sangat ketakutan. Dia membawaku kedalam
sebuah mobil yang cukup mewah. Mobil dengan segera melaju ke kantor pusat kota.
Segala sisi tempat itu tertata sangat rapi. Berada disana seakan membuatku lupa
akan kejadian mengerikan tadi. Ya, orang dewasa pandai mengalihkan perhatianku sebagai seorang anak kecil yang belum sangat mengerti apapun. Sayang,
beberapa menit kemudian, aku teringat lagi pada kereta itu sesaat setelah Pak
Megyort meninggalkanku di sebuah ruangan yang cukup nyaman, namun dia salah,
karena aku ditinggal seorang diri di ruangan itu. Tidak ada yang mengajakku
berbicara. Aku termenung sendiri. Kemudian teringat lagi, ingat saat aku terpisah
dari kedua orang tuaku, saat aku ketakutan, saat sekujur tubuhku terasa kaku,
sampai pada saat yang mengerikan, saat aku melihat orang itu terbakar
hidup-hidup.
Aku terenyak,…Serasa tak dapat bernafas. Tapi
sesaat kemudian histeris memanggil-manggil papa dan mamaku. Mendengar
teriakanku, Pak Megyort segera menuju ke tempatku berada. Kemudian dia menopangku. Tangisku mulai mereda. Setelah itu, Pak
Megyort memberiku sepotong coklat. Dia bekata,” Nak,..ambil ini. Tenangkan
dirimu. Kau aman disini bersamaku”. Aku mendengar dengan sedikit
terhibur,.Dalam hati ku berkata,” Ternyata aku aman disini, Tuhan...Trima kasih
sudah menyelamatkanku.” Namun, saat itu juga diriku merasa sendiri, sangat
sedih karena aku tahu kedua orang tuaku telah tiada. Aku kembali mengingat
saat-saat dulu bersama mereka dimana saat itu aku adalah seorang anak yang
nakal dan tidak menuruti kata-kata orang tuaku, malah saat aku dilarang,
kelakuanku semakin menjadi-jadi. Aku malah semakin menggila. Sekarang mereka
telah tiada. Bila diriku mengingatnya, ah, seandainya saja bisa, aku akan
menuruti setiap kata mereka, agar mereka merasa bangga denganku. Karena saat
ini, tiada yang mereka banggakan dariku dan aku belum sempat meminta maaf pada
mereka atas segala kesalahanku selama ini. Mereka begitu baik, mereka begitu
sabar dan sangat sayang padaku. Aku sangat menyesal, mengapa dulu diriku tidak
berbuat sesuatu yang baik dan membanggakan mereka. Hal yang paling membuatku menyesal
adalah aku ingin naik kereta. Andai diriku tidak memaksa mereka untuk naik
kereta itu, mungkin saja hal buruk ini tidak terjadi. Namun segalanya telah
terjadi dan aku tidak dapat mengubah apapun. Hanya aku sendiri, akan kemana aku ini,
apa yang dapat ku lakukan bagi diriku sedangkan aku tidak mengerti apapun.
Teringat kembali akan kakek dan nenek, aku minta
diantarkan ke rumah mereka. Sesampai di rumah mereka....
“Pergi kamu dari
hadapanku, dasar pembawa sial! Karena keinginanmu pergi naik kereta, orangtuamu
meninggal,” kata kakekku.
“Sudahlah, dia masih
kecil, baru 10 tahun, dia tidak mengerti apa-apa,” balas nenek membelaku.
“Aku tidak mengerti. Semua bukan salahku.”
Namun, kakek mengusirku,
nenek hanya dapat memandang dengan hati pilu. Semalaman aku berjalan di tengah
kota Jepang saat salju kembali berjatuhan, dingin sekali. Akhirnya aku lelah
dan melihat seorang nenek di jalan. Aku membantunya menyebrang kemudian
menceritakan padanya apa yang sedang ku alami. Dia mengajakku tinggal di
rumahnya. Aku senang sekali.
Aku diajak ke tengah hutan
di tengah jantung kota dan aku baru melihat ini. Ada gubuk di tengah hutan, dan
sangat indah pemandangannya. Aku melihat suasana remang-remang dan bunga yang
indah di sana, di halaman rumah nenek yang sangat membuatku terpesona. Bertabur
salju, seorang gadis cilik menyanyi sambil tersenyum padaku. Nenek
memperkenalkanku padanya. Ternyata dia cucu nenek, orang tuanya telah meninggal
karena kecelakaan lalulintas. Inezz namanya,
indah sekali.
Sepuluh tahun berlalu, dan aku berusia 20 tahun, sedangakan
Inezz berusia 15 tahun. Nenek meninggal akibat tumor otak. Kesedihan
berlalu dan Inezz sangat cantik, cerdas dan taat pada Allah. Dia mengajariku banyak hal. Saat teduh
pagi, kami berkumpul bersama untuk berdoa dan membahas ayat alkitab. Waktu
menunjukkan pukul 4 pagi.
“Kak
Dormayane baca ayat alkitab ini, Filipi 4:6 Janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”
“Aku tau itu, Adikku sayang. Segala yang
kita inginkan, katakan saja pada Allah dalam doa, dan percaya bahwa kita sudah
mendapatkan apa yang kita inginkan maka semuanya pasti akan diberikan asalkan
kita percaya bisa mendapatkannya. Baiklah, lanjutkan, bagaimana dengan ini?
Ibrani 10:23 Marilah kita berpegang teguh
pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.”
“Artinya Tuhan adalah Allah yang setia
sehingga Ia tidak pernah mengecewakan orang yang berharap pada-Nya, juga Allah
itu hebat dan luar biasa karena hanya Dia yang setia, yang tidak pernah ingkar
janji. Benar begitu, Kak?”
“Pindah rumah serasa
berbeda. Sudah 2 tahun tinggal di sini, semua serba mewah. Ada shower, ada pula air panas dan
dingin yang meluncur dari keran bila tangan diletakkan di bawahnya, ada segala
yang di inginkan, tapi…semua terasa berbeda”
“Inezz, kan ada Kakak
disisimu, jangan takut. Ok?”
“Kak, bukan begi…”
“Ingat kata Firman Tuhan
dalam Roma 12:12 Bersukacitalah dalam
pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!”
“Kakak ingat itu? Pasti
aku ingat, bukankah itu adalah hal yang telah ku ajarkan agar Kakak tidak sedih
tentang keluarga Kakak saat Kakak ingat bagaimana perasaan kakak bercampur antara sedih dan marah saat mereka mengusir Kakak?”
Aku terdiam. Benar Tuhan, banyak yang dia ajarkan dan dia
membuat aku percaya pada-Mu. Keluargaku bukan orang yang percaya pada-Mu. Kini aku
bersyukur telah diusir dari rumah itu, Engkau yang memberikan jalan dalam hidupku, setiap
kejadian sudah Engkau rancang. Benar-benar dahsyat anugerah-Mu. Tuhan, Kau
sumber kuatku. Di dalam-Mu, hidupku takkan sama seperti dulu. Sekarang, aku
menjadi seorang lawyer dan kaya raya.
“Kak…”
Suara Inezz mengejutkanku.
Aku segera menjawab, karena melihat ekspresi wajah cemas bercampur bingung
sedang menatapku lekat-lekat.
“Ya? Sudah-sudah,
aku baik-baik saja. Ayo kita sarapan
setelah itu aku mengantarmu ke sekolah.” balasku semangat.
Hari-hariku bersama Inezz
sangat bahagia, sampai suatu hari aku memberanikan diri berbicara padanya, di
rumahku, di taman nan indah, saat musim semi tiba. Bunga-bunga bermekaran dan
udara sangat sejuk. Angin sepoi-sepoi bertiup, menambah indahnya pagi yang
segar.
“Aku mencintaimu,
jadilah yang pertama untukku.”
“Kak?
Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Aku
sudah mengatakannya, jadi aku tidak perlu mengulanginya.”
“Kita
saudara. Haruskah persaudaraan kita putus hanya karena ini? ”
“Bukan
itu maksudku, tapi… Ah sudahlah, lupakan saja! Kalau memang tidak mau denganku
katakan saja sejujurnya. Slaven kan
orang yang ada di hatimu? Aku tau banyak, jangan pikir aku ini bodoh dan kamu
anggap sebagai supir pribadimu dan kau boleh seenaknya saja memerintahku.”
“Kak, kenapa Kakak tiba-tiba marah? Sikap Kakak aneh, memangnya apa salahku? Kakak yang mau menjadi supirku dan berkata aku boleh pergi kemana saja, Kakak akan mengantarku dan menjadi supir pribadi. Slaven adalah sahabat terbaikku sejak kecil, sebelum Kakak datang bersama nenek di malam dingin itu.”
“Kak, kenapa Kakak tiba-tiba marah? Sikap Kakak aneh, memangnya apa salahku? Kakak yang mau menjadi supirku dan berkata aku boleh pergi kemana saja, Kakak akan mengantarku dan menjadi supir pribadi. Slaven adalah sahabat terbaikku sejak kecil, sebelum Kakak datang bersama nenek di malam dingin itu.”
“Diam! Jangan ingatkan aku pada kejadian
hina itu! Mengerti?”
“Kakak jahat! Kakak
membentakku, aku benci padamu!”
Inezz berlari meninggakan
rumahku. Dia baru saja pulang sekolah. Kurasa dia masih membawa
dompetnya. Ada
uang yang cukup baginya. Aku yakin dia takkan kembali maka aku berusaha
menahannya.
“Inezz,
tunggu! Aku belum selesai…”
Aku panik, apa yang harus
aku lakukan, terlambat. Dia telah meninggalkanku. Harusnya tadi aku tidak
marah. Tapi ku akui, Slaven adalah seorang sosok yang berbeda jauh denganku. Dia
begitu tampan, kuat, rendah hati, sangat sabar dan sopan dalam bertutur kata
serta berperilaku. Segala yang ada dalam pribadi Slaven berbeda jauh denganku,
bahkan aku adalah orang terapuh dan terhancur di mata Inezz, atau aku hanyalah
seorang kakak yang sangat ia idamkan, tapi, entahlah, aku pun tidak mengerti. Tidak,
aku harus segera mencari Inezz tapi usahaku sia-sia. Dia sudah pergi entah kemana.
Aku meneruskan hidupku
yang sangat hampa, tujuan hidupku hanya Inezz. Lima tahun berlalu, aku diajak
seorang temanku bernama Sophia. Dia beragama Kristen dan membantuku mengenal
Yesus lebih dalam lagi. Dulu saat tinggal bersama Inezz, aku tau banyak cerita
tentang Yesus. Aku berusaha mencari Inezz sampai aku merantau ke negara
Indonesia, yang kaya akan flora dan fauna sehingga aku bertemu Sophia di sebuah
shopping mall.
Minggu Pagi, sekitar pukul
9, Sophia datang ke rumahku.
“Dormayane, ini Sophia. Buka
pintu donk,” suara merdu Sophia
terdengar di alat detektor tamu otomatis.
“Sebentar lagi…Ah, ada apa
datang kemari?”
“Ayo, kan kemarin sudah
janji, janji mau bareng.”
“Ha? Janji apa? Tunggu, ke
gereja bersamamu?”
“Yeah, tepat sekali,”
Sophia tersenyum dengan sangat manis,”Ayo cepat siap-siap dan kita segera
berangkat. Biasa sih jam delapan pagi, tapi khusus hari ini saja, aku ikut
denganmu ibadah jam 10, lalu ikut denganku siang ini, bagaimana?”
“Ok, sebagai laki-laki sejati, aku menepati janji,” balasku tegas.
Lima belas menit kemudian
aku dan Sophia keluar dari apartemen mewah di kawasan Jakarta. Grand Tropic,
nama apartemen yang kutempati. Dari Jepang, setelah kepergian Inezz, aku selalu
pindah dari negara satu ke negara lain dengan harapan bertemu Inezz. Aku bukan
lagi orang pengecut seperti dulu. Sekarang aku bahkan merasa lebih dari Slaven
dan suatu saat aku akan kembali ke rumah nenek dan kakek. Mereka tidak akan
menyalahkanku lagi karena kecelakaan yang menimpa orang tuaku dulu, aku yakin
itu. Lihat saja, suatu saat, aku akan diterima dengan senang hati.
“Hey! Menyetir
hati-hati dong! Lihat, jangan malah melamun. Hampir saja motor yang di depan
itu tertumbur.”
“Oh,
yeah, maaf. Aku menyesal. Ah, macet, syitt!”
“Hush,
jangan sembarangan ngomong. Pasti macet dong, soalnya kita belok kiri di
sebelah Hotel Wisma itu, ada gereja di bagian bank BRI, parkir disana dan naik
ke lantai 5. Kebaktian akan dimulai sebentar lagi, sekarang sudah jam 10.05.”
Sampai
di gedung megah itu, kami pun masuk dan
mengikuti kebaktian dengan hati riang. Pulang dari gereja, aku diajak Sophia makan siang di restoran Chinese Food
terkenal di kawasan Jakarta Utara. Sebenarnya aku malas karena aku ingin ke
Jakarta Selatan, tempat makan favoritku disana, tapi janji harus ditepati, toh
hanya makan saja, dimana saja sama.
Masuk kedalam, aku memilih
tempat dekat jendela, saat aku menghamburkan pandangan ke sekelilingku, aku
melihat seorang gadis yang mirip sekali dengan Inezz. Oh, apa yang terjadi?
Jantungku berdetak kencang. Aku mendengar percakapannya dengan seorang pemuda
tampan yang bersamanya. Ketamapanan pemuda itu menarik perhatian Sophia, tetapi
aku diam mendengarkan percakapan mereka, mengabaikan suara Sophia.
“Slaven, besok kita pulang
ke Jepang saja. Aku takut nanti bertemu dengan kak Dormayane,”gadis itu melirik
kekanan dan kekiri,”Aku merasakan ada kak Dormayane disini. Aku takut dia
sangat marah padaku.”,
Pemuda yang bersamanya
tampak gelisah, tetapi pembawaannya yang tenang membuatnya semakin disukai
Sophia. Aku bingung pada Sophia.
“Dormayane, lihat, pemuda
itu sangat tampan,” jawab Sophia dengan penuh antusias dan dengan nada setengah
berteriak.
“Sttt, jangan keras-keras,
nanti dia mendengar.”
“Iya, maaf. Boleh kan aku
menemui dia? Mau ngajak kenalan gitu loh.”
“Jangan! Makan
dulu.”
“Well, apapun,
setelah aku menemuinya.”
“Sophia…”
“What’s up?”
“Duduk dan lihat
nanti responnya. Jangan temui dia
dulu”
Sophia kini duduk dengan manis dan terus menatap
pemuda itu lekat-lekat. Aku masih berusaha mendengarkan percakapan mereka.
“Inezz, jangan khawatir. Aku rasa Kak Dormayane
tidak marah padamu. Dia sayang dan cinta padamu. Pasti dia senang bertemu
denganmu.”
Aku terpejrat. Aku tidak salah dengar, sudah 2
kali pemuda itu menyebut namaku dan Inezz. Pasti itu benar-benar Inezz. Aku
menjadi sangat gugup. Mereka masih terus berbicara.
“Tapi…Ah, tidak, hanya saja…Oh, ini masaah yang
rumit. Aku tidak mengerti karena pandangan kami berbeda.”
“Mengapa? Coba
untuk percaya padanya. Kalau masalah
hati, itu miliknya. Aku tau kau suka denganku hanya karena penampilan luar.”
“Slaven…”
“Sudah, mengaku saja. Sekarang lihat ke seberang
sana, meja yang ada dekat jendela pintu keluar dekat taman bunga itu. Dia
disana. Temui dia.”
“Tapi dia bersama seorang gadis yang cantik
sekali.”
“Percayalah Inezz, dia setia. Sedari tadi mereka
melihat ke arah kita. Dia sudah mencarimu cukup lama. Dia berkorban
bagimu. Hargai itu.”
“Aku tidak mau!”
bentak Inezz,” Aku takut,” lanjutnya sedih.
Aku menahan nafas mendengarnya. Perasaanku kalut. Tapi
aku benar-benar senang bertemu dengannya. Aku memberanikan diri melangkah ke
mejanya dan ternyata Sophia sangat senang dengan responku.
“Hai, kudengar kalian bertengkar, ada masalah?”
tanyaku pura-pura tidak mengenal Inezz dan Slaven.
Sophia segera
berlari kearah Slaven dan dengan antusias berbicara.
“How do you do? I’m Sophia. Nice to meet you.
What’s your name?”
“A…aku, eh siapa
ya?” jawab Slaven terbata-bata.
“Kenalan aja. Kamu
cool banget. Marvelous deh.”
”Oh, aku
s…sla…slaven,” balasnya gugup
“Ok,”
Sophia menatap kearahku sambil mengedipkan sebelah matanya,” Aku pergi
dulu.”
Aku membisu
seketika melihat tingkah Sophia. Berani sekali dia menggandeng tangan Slaven
lalu mengajaknya pergi berkencan. Aku bengong.
“Sorry?” kata Inezz mengejutkanku.
“Ya, ada apa?” Aku
bingung,”Apakah kamu Inezz?” tanyaku mantap.
Aku menatap tajam
matanya yang tiba-tiba berlinang air mata.
“Kak, maaf,”
jawabnya sambil menangis kencang,”Aku takut sekali.”
“Aku tidak marah,” Aku memeluknya erat,”Tenang,
sekarang aku sudah berubah. Aku tidak marah, aku sangat sayang padamu.”
“Apa perasaan Kakak ma…masih sama seperti dulu?”
“Bodoh, untuk apa aku mencarimu bila sudah tidak
punya perasaan apa-apa lagi?”
Inezz masih menangis dalam dekapanku. Aku
melanjutkan perkataanku yang kuperkirakan akan membuatnya terkejut namun
gembira.
“Sudah, jangan
menangis. Bagaimana kalau kita get
married?”
“Apa? Secepat
itu?” balas Inezz terkejut.
“Benar, umurmu dua puluh dan aku lima tahun
diatasmu.”
“Ta…tapi…aku…”
“Sssttt, katakan iya saja,” Aku meletakkan
kepalanya diatas pundakku dan tersenyum,” Ayo, minggu depan.”
Mata Inezz yang biru kini berkilau bagai mentari
yang hebat.
“Aku menyusul Kakak ke Indonesia tapi aku mau ke
Swiss.”
“Boleh, apapun untukmu.”
Setelah hari pernikahan, aku melihat Sophia lengket
dengan Slaven dan mereka benar-benar cocok. Aku dan Inezz kembali ke Jepang dan
kami hanya kesana untuk mengunjungi kakek dan nenekku. Aku sangat berharap
mereka tidak ingat pada kecelakaan dulu. Setelahnya baru kami tinggal di Swiss
sesuai keinginan Inezz.
“Haha aku sekarang orang sukses, aku punya rumah
di swiss dan tempat tinggalku sangat indah, rumah megah bagai katedral.” Ceritaku
bangga.
“Haha, bisa saja,” balas Kakek,” Nek, cucu kita
hebat.”
“Benar.”balas
Nenek.
“Oh ya, saat honeymoon, naik kapal pesiar. Lautnya sangat indah. Mendarat di
pantai yang pasirnya putih bersih berkilau, serta udara sejuk.” Sambung Inezz dengan senyuman dan semangat yang
khas.
“Wah, semua berakhir bahagia. Itu mauku. Glory for the Lord. Karena semua doa dan impianku terkabul. Aku berdoa
bisa berkumpul bersama kalian. Tuhan benar-benar hebat. Tiada yang
mustahil bagi-Nya. Dia membuat segalanya indah pada waktunya.” Kataku bahagia.
~ The end ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar