Cari Blog Ini

Rabu, 24 Oktober 2012

Cerpen "Cahaya Kehidupan"


CAHAYA KEHIDUPAN
By: Ivana Melati (XII IPA 2)

Aku tinggal di sebuah desa yang bernama Shirakawa. Namaku Dormayane. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku sekarang. Sebelumnya, 25 tahun yang lalu, aku tinggal bersama orang tuaku. Kami tinggal di kota Shizuoka. Kota ini sangat maju dimana semuanya serba elektronik. Disebabkan oleh suatu kecelakaan, aku berpisah dengan orang tuaku selamanya.
Saat itu kami mau berlibur, kami naik kereta api pada tanggal 9 November 1963, tetapi ketika kereta berada di Yokohama, Tokyo, tiba-tiba terjadi tabrakan dengan dua bus berpenumpang. Setelah itu, kereta keluar dari lintasan. Semua panik. Semua berteriak-teriak. Aku sangat ketakutan. Saat itu, aku berada di dapur makanan kereta. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Sekujur tubuhku gemetar, kaku serasa mati. Tubuhku tidak dapat digerakan. Walau begitu, aku berusaha dengan sekuat tenaga berjalan masuk ke dalam toilet kereta untuk menghindari api yang segera menyembur ke dapur makanan kereta. Sesaat setelah mendengar suara sungkritan, kereta pun meledak. Tubuhku bertambah gemetar apalagi setelah ku siram sekujur tubuh dengan air bak yang dingin bagaikan es kutub. Semua pakaianku basah. Aku berbuat sedemikian rupa agar tubuhku tidak terkena api. Tepat seperti yang ku duga, aku selamat padahal gerbong di sebelah telah termakan api semuanya. Gerbong dimana aku berada sudah mulai dilahap si jago merah. Segera ku dengar banyak orang-orang berteriak dan menyiram air.
 Mengerikan sekali ketika ada orang yang melompat dari gerbong sebelah dengan api di sekujur tubuhnya. Dengan sigap namun bercampur ngeri, aku memberanikan diri menyiram tubuhnya dengan segayung air. Seram sekali untuk anak seusiaku. Seorang anak yang baru berumur 10 tahun melihat orang terbakar hidup-hidup dan menolongnya namun melihat bekas bakar api di tubuhnya. Merah dan tampak agak berlendir, serta lengket. Orang itu berteriak-teriak. Aku jadi tambah ngeri. Mendengar teriakan itu, tim penolong segera ke gerbong tempat kami berada. Pak Megyort ketua tim penolong itu. Dia bersama teman-temannya berlari ke gerbong kami dan segera mengevakuasi kami. Orang yang luka bakar itu segera dilarikan kerumah sakit dengan ambulance namun kulihat tim medis memasang banyak selang di beberapa bagian tubuhnya. Segera kualihkan pandangan pada Pak Megyort yang tampak sangat heran dengan keberadaanku. Aku jadi bengong. Dia segera menggendongku, mungkin dia tahu aku sangat ketakutan. Dia membawaku kedalam sebuah mobil yang cukup mewah. Mobil dengan segera melaju ke kantor pusat kota. Segala sisi tempat itu tertata sangat rapi. Berada disana seakan membuatku lupa akan kejadian mengerikan tadi. Ya, orang dewasa pandai mengalihkan perhatianku sebagai seorang anak kecil yang belum sangat mengerti apapun. Sayang, beberapa menit kemudian, aku teringat lagi pada kereta itu sesaat setelah Pak Megyort meninggalkanku di sebuah ruangan yang cukup nyaman, namun dia salah, karena aku ditinggal seorang diri di ruangan itu. Tidak ada yang mengajakku berbicara. Aku termenung sendiri. Kemudian teringat lagi, ingat saat aku terpisah dari kedua orang tuaku, saat aku ketakutan, saat sekujur tubuhku terasa kaku, sampai pada saat yang mengerikan, saat aku melihat orang itu terbakar hidup-hidup.
Aku terenyak,…Serasa tak dapat bernafas. Tapi sesaat kemudian histeris memanggil-manggil papa dan mamaku. Mendengar teriakanku, Pak Megyort segera menuju ke tempatku berada. Kemudian dia menopangku. Tangisku mulai mereda. Setelah itu, Pak Megyort memberiku sepotong coklat. Dia bekata,” Nak,..ambil ini. Tenangkan dirimu. Kau aman disini bersamaku”. Aku mendengar dengan sedikit terhibur,.Dalam hati ku berkata,” Ternyata aku aman disini, Tuhan...Trima kasih sudah menyelamatkanku.” Namun, saat itu juga diriku merasa sendiri, sangat sedih karena aku tahu kedua orang tuaku telah tiada. Aku kembali mengingat saat-saat dulu bersama mereka dimana saat itu aku adalah seorang anak yang nakal dan tidak menuruti kata-kata orang tuaku, malah saat aku dilarang, kelakuanku semakin menjadi-jadi. Aku malah semakin menggila. Sekarang mereka telah tiada. Bila diriku mengingatnya, ah, seandainya saja bisa, aku akan menuruti setiap kata mereka, agar mereka merasa bangga denganku. Karena saat ini, tiada yang mereka banggakan dariku dan aku belum sempat meminta maaf pada mereka atas segala kesalahanku selama ini. Mereka begitu baik, mereka begitu sabar dan sangat sayang padaku. Aku sangat menyesal, mengapa dulu diriku tidak berbuat sesuatu yang baik dan membanggakan mereka. Hal yang paling membuatku menyesal adalah aku ingin naik kereta. Andai diriku tidak memaksa mereka untuk naik kereta itu, mungkin saja hal buruk ini tidak terjadi. Namun segalanya telah terjadi dan aku tidak dapat mengubah apapun. Hanya aku sendiri, akan kemana aku ini, apa yang dapat ku lakukan bagi diriku sedangkan aku tidak mengerti apapun.
Teringat kembali akan kakek dan nenek, aku minta diantarkan ke rumah mereka. Sesampai di rumah mereka....

            “Pergi kamu dari hadapanku, dasar pembawa sial! Karena keinginanmu pergi naik kereta, orangtuamu meninggal,” kata kakekku.
            “Sudahlah, dia masih kecil, baru 10 tahun, dia tidak mengerti apa-apa,” balas nenek membelaku.
            “Aku tidak  mengerti. Semua bukan salahku.”
            Namun, kakek mengusirku, nenek hanya dapat memandang dengan hati pilu. Semalaman aku berjalan di tengah kota Jepang saat salju kembali berjatuhan, dingin sekali. Akhirnya aku lelah dan melihat seorang nenek di jalan. Aku membantunya menyebrang kemudian menceritakan padanya apa yang sedang ku alami. Dia mengajakku tinggal di rumahnya. Aku senang sekali.
            Aku diajak ke tengah hutan di tengah jantung kota dan aku baru melihat ini. Ada gubuk di tengah hutan, dan sangat indah pemandangannya. Aku melihat suasana remang-remang dan bunga yang indah di sana, di halaman rumah nenek yang sangat membuatku terpesona. Bertabur salju, seorang gadis cilik menyanyi sambil tersenyum padaku. Nenek memperkenalkanku padanya. Ternyata dia cucu nenek, orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan lalulintas. Inezz namanya, indah sekali.
            Sepuluh tahun berlalu, dan aku berusia 20 tahun, sedangakan Inezz berusia 15 tahun. Nenek meninggal akibat tumor otak. Kesedihan berlalu dan Inezz sangat cantik, cerdas dan taat pada  Allah. Dia mengajariku banyak hal. Saat teduh pagi, kami berkumpul bersama untuk berdoa dan membahas ayat alkitab. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi.
            “Kak Dormayane baca ayat alkitab ini, Filipi 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”
            “Aku tau itu, Adikku sayang. Segala yang kita inginkan, katakan saja pada Allah dalam doa, dan percaya bahwa kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan maka semuanya pasti akan diberikan asalkan kita percaya bisa mendapatkannya. Baiklah, lanjutkan, bagaimana dengan ini? Ibrani 10:23 Marilah kita berpegang teguh pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.”
            “Artinya Tuhan adalah Allah yang setia sehingga Ia tidak pernah mengecewakan orang yang berharap pada-Nya, juga Allah itu hebat dan luar biasa karena hanya Dia yang setia, yang tidak pernah ingkar janji. Benar begitu, Kak?”
            “Pindah rumah serasa berbeda. Sudah 2 tahun tinggal di sini, semua serba mewah. Ada shower, ada pula air panas dan dingin yang meluncur dari keran bila tangan diletakkan di bawahnya, ada segala yang di inginkan, tapi…semua terasa berbeda”
            “Inezz, kan ada Kakak disisimu, jangan takut. Ok?”
            “Kak, bukan begi…”
            “Ingat kata Firman Tuhan dalam Roma 12:12 Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!
            “Kakak ingat itu? Pasti aku ingat, bukankah itu adalah hal yang telah ku ajarkan agar Kakak tidak sedih tentang keluarga Kakak saat Kakak ingat bagaimana perasaan kakak bercampur antara sedih dan marah saat mereka mengusir Kakak?”
            Aku terdiam. Benar Tuhan, banyak yang dia ajarkan dan dia membuat aku percaya pada-Mu. Keluargaku bukan orang yang percaya pada-Mu. Kini aku bersyukur telah diusir dari rumah itu, Engkau yang memberikan jalan dalam hidupku, setiap kejadian sudah Engkau rancang. Benar-benar dahsyat anugerah-Mu. Tuhan, Kau sumber kuatku. Di dalam-Mu, hidupku takkan sama seperti dulu. Sekarang, aku menjadi seorang lawyer dan kaya raya.
            “Kak…”
            Suara Inezz mengejutkanku. Aku segera menjawab, karena melihat ekspresi wajah cemas bercampur bingung sedang menatapku lekat-lekat.
            “Ya? Sudah-sudah, aku baik-baik saja. Ayo kita sarapan setelah itu aku mengantarmu ke sekolah.” balasku semangat.
            Hari-hariku bersama Inezz sangat bahagia, sampai suatu hari aku memberanikan diri berbicara padanya, di rumahku, di taman nan indah, saat musim semi tiba. Bunga-bunga bermekaran dan udara sangat sejuk. Angin sepoi-sepoi bertiup, menambah indahnya pagi yang segar.
            “Aku mencintaimu, jadilah yang pertama untukku.”
            “Kak? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.”
            “Aku sudah mengatakannya, jadi aku tidak perlu mengulanginya.”
            “Kita saudara. Haruskah persaudaraan kita putus hanya karena ini? ”
            “Bukan itu maksudku, tapi… Ah sudahlah, lupakan saja! Kalau memang tidak mau denganku katakan saja sejujurnya. Slaven kan orang yang ada di hatimu? Aku tau banyak, jangan pikir aku ini bodoh dan kamu anggap sebagai supir pribadimu dan kau boleh seenaknya saja memerintahku.”   
           “Kak, kenapa Kakak tiba-tiba marah? Sikap Kakak aneh, memangnya apa salahku? Kakak yang mau menjadi supirku dan berkata aku boleh pergi kemana saja, Kakak akan mengantarku dan menjadi supir pribadi. Slaven adalah sahabat terbaikku sejak kecil, sebelum Kakak datang bersama nenek di malam dingin itu.”
            “Diam! Jangan ingatkan aku pada kejadian hina itu! Mengerti?”
            “Kakak jahat! Kakak membentakku, aku benci padamu!”
            Inezz berlari meninggakan rumahku. Dia baru saja pulang sekolah. Kurasa dia masih membawa dompetnya. Ada uang yang cukup baginya. Aku yakin dia takkan kembali maka aku berusaha menahannya.
            “Inezz, tunggu! Aku belum selesai…”
            Aku panik, apa yang harus aku lakukan, terlambat. Dia telah meninggalkanku. Harusnya tadi aku tidak marah. Tapi ku akui, Slaven adalah seorang sosok yang berbeda jauh denganku. Dia begitu tampan, kuat, rendah hati, sangat sabar dan sopan dalam bertutur kata serta berperilaku. Segala yang ada dalam pribadi Slaven berbeda jauh denganku, bahkan aku adalah orang terapuh dan terhancur di mata Inezz, atau aku hanyalah seorang kakak yang sangat ia idamkan, tapi, entahlah, aku pun tidak mengerti. Tidak, aku harus segera mencari Inezz tapi usahaku sia-sia. Dia sudah pergi entah kemana.
            Aku meneruskan hidupku yang sangat hampa, tujuan hidupku hanya Inezz. Lima tahun berlalu, aku diajak seorang temanku bernama Sophia. Dia beragama Kristen dan membantuku mengenal Yesus lebih dalam lagi. Dulu saat tinggal bersama Inezz, aku tau banyak cerita tentang Yesus. Aku berusaha mencari Inezz sampai aku merantau ke negara Indonesia, yang kaya akan flora dan fauna sehingga aku bertemu Sophia di sebuah shopping mall.
            Minggu Pagi, sekitar pukul 9, Sophia datang ke rumahku.
            “Dormayane, ini Sophia. Buka pintu donk,” suara merdu Sophia terdengar di alat detektor tamu otomatis.
            “Sebentar lagi…Ah, ada apa datang kemari?”
            “Ayo, kan kemarin sudah janji, janji mau bareng.”
            “Ha? Janji apa? Tunggu, ke gereja bersamamu?”
            “Yeah, tepat sekali,” Sophia tersenyum dengan sangat manis,”Ayo cepat siap-siap dan kita segera berangkat. Biasa sih jam delapan pagi, tapi khusus hari ini saja, aku ikut denganmu ibadah jam 10, lalu ikut denganku siang ini, bagaimana?”
            “Ok, sebagai laki-laki sejati, aku menepati janji,” balasku tegas.
            Lima belas menit kemudian aku dan Sophia keluar dari apartemen mewah di kawasan Jakarta. Grand Tropic, nama apartemen yang kutempati. Dari Jepang, setelah kepergian Inezz, aku selalu pindah dari negara satu ke negara lain dengan harapan bertemu Inezz. Aku bukan lagi orang pengecut seperti dulu. Sekarang aku bahkan merasa lebih dari Slaven dan suatu saat aku akan kembali ke rumah nenek dan kakek. Mereka tidak akan menyalahkanku lagi karena kecelakaan yang menimpa orang tuaku dulu, aku yakin itu. Lihat saja, suatu saat, aku akan diterima dengan senang hati.
            Hey! Menyetir hati-hati dong! Lihat, jangan malah melamun. Hampir saja motor yang di depan itu tertumbur.”
            “Oh, yeah, maaf. Aku menyesal. Ah, macet, syitt!”
            “Hush, jangan sembarangan ngomong. Pasti macet dong, soalnya kita belok kiri di sebelah Hotel Wisma itu, ada gereja di bagian bank BRI, parkir disana dan naik ke lantai 5. Kebaktian akan dimulai sebentar lagi, sekarang sudah jam 10.05.”
            Sampai di gedung megah itu, kami pun  masuk dan mengikuti kebaktian dengan hati riang. Pulang dari gereja, aku diajak Sophia makan siang di restoran Chinese Food terkenal di kawasan Jakarta Utara. Sebenarnya aku malas karena aku ingin ke Jakarta Selatan, tempat makan favoritku disana, tapi janji harus ditepati, toh hanya makan saja, dimana saja sama.
            Masuk kedalam, aku memilih tempat dekat jendela, saat aku menghamburkan pandangan ke sekelilingku, aku melihat seorang gadis yang mirip sekali dengan Inezz. Oh, apa yang terjadi? Jantungku berdetak kencang. Aku mendengar percakapannya dengan seorang pemuda tampan yang bersamanya. Ketamapanan pemuda itu menarik perhatian Sophia, tetapi aku diam mendengarkan percakapan mereka, mengabaikan suara Sophia.
            “Slaven, besok kita pulang ke Jepang saja. Aku takut nanti bertemu dengan kak Dormayane,”gadis itu melirik kekanan dan kekiri,”Aku merasakan ada kak Dormayane disini. Aku takut dia sangat marah padaku.”,
            Pemuda yang bersamanya tampak gelisah, tetapi pembawaannya yang tenang membuatnya semakin disukai Sophia. Aku bingung pada Sophia.
            “Dormayane, lihat, pemuda itu sangat tampan,” jawab Sophia dengan penuh antusias dan dengan nada setengah berteriak.
            “Sttt, jangan keras-keras, nanti dia mendengar.”
            “Iya, maaf. Boleh kan aku menemui dia? Mau ngajak kenalan gitu loh.”
            “Jangan! Makan dulu.”
            “Well, apapun, setelah aku menemuinya.”
            “Sophia…”
            “What’s up?”
            “Duduk dan lihat nanti responnya. Jangan temui dia dulu”
            Sophia kini duduk dengan manis dan terus menatap pemuda itu lekat-lekat. Aku masih berusaha mendengarkan percakapan mereka.
            “Inezz, jangan khawatir. Aku rasa Kak Dormayane tidak marah padamu. Dia sayang dan cinta padamu. Pasti dia senang bertemu denganmu.”
            Aku terpejrat. Aku tidak salah dengar, sudah 2 kali pemuda itu menyebut namaku dan Inezz. Pasti itu benar-benar Inezz. Aku menjadi sangat gugup. Mereka masih terus berbicara.
           “Tapi…Ah, tidak, hanya saja…Oh, ini masaah yang rumit. Aku tidak mengerti karena pandangan kami berbeda.”
            “Mengapa? Coba untuk percaya padanya. Kalau masalah hati, itu miliknya. Aku tau kau suka denganku hanya karena penampilan luar.”
           “Slaven…”
           “Sudah, mengaku saja. Sekarang lihat ke seberang sana, meja yang ada dekat jendela pintu keluar dekat taman bunga itu. Dia disana. Temui dia.”
           “Tapi dia bersama seorang gadis yang cantik sekali.”
           “Percayalah Inezz, dia setia. Sedari tadi mereka melihat ke arah kita. Dia sudah mencarimu cukup lama. Dia berkorban bagimu. Hargai itu.”
           “Aku tidak mau!” bentak Inezz,” Aku takut,” lanjutnya sedih.
           Aku menahan nafas mendengarnya. Perasaanku kalut. Tapi aku benar-benar senang bertemu dengannya. Aku memberanikan diri melangkah ke mejanya dan ternyata Sophia sangat senang dengan responku.
           “Hai, kudengar kalian bertengkar, ada masalah?” tanyaku pura-pura tidak mengenal Inezz dan Slaven.
           Sophia segera berlari kearah Slaven dan dengan antusias berbicara.
           “How do you do? I’m Sophia. Nice to meet you. What’s your name?”
           “A…aku, eh siapa ya?” jawab Slaven terbata-bata.
           “Kenalan aja. Kamu cool banget. Marvelous deh.”
           ”Oh, aku s…sla…slaven,” balasnya gugup
           “Ok,”  Sophia menatap kearahku sambil mengedipkan sebelah matanya,” Aku pergi dulu.”
           Aku membisu seketika melihat tingkah Sophia. Berani sekali dia menggandeng tangan Slaven lalu mengajaknya pergi berkencan. Aku bengong.
           “Sorry?” kata Inezz mengejutkanku.
           “Ya, ada apa?” Aku bingung,”Apakah kamu Inezz?” tanyaku mantap.
           Aku menatap tajam matanya yang tiba-tiba berlinang air mata.
          “Kak, maaf,” jawabnya sambil menangis kencang,”Aku takut sekali.”
          “Aku tidak marah,” Aku memeluknya erat,”Tenang, sekarang aku sudah berubah. Aku tidak marah, aku sangat sayang padamu.”
          “Apa perasaan Kakak ma…masih sama seperti dulu?”
          “Bodoh, untuk apa aku mencarimu bila sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi?”
Inezz masih menangis dalam dekapanku. Aku melanjutkan perkataanku yang kuperkirakan akan membuatnya terkejut namun gembira.
          “Sudah, jangan menangis. Bagaimana kalau kita get married?”
          “Apa? Secepat itu?” balas Inezz terkejut.
          “Benar, umurmu dua puluh dan aku lima tahun diatasmu.”
         “Ta…tapi…aku…”
         “Sssttt, katakan iya saja,” Aku meletakkan kepalanya diatas pundakku dan tersenyum,” Ayo, minggu depan.”
         Mata Inezz yang biru kini berkilau bagai mentari yang hebat.
        “Aku menyusul Kakak ke Indonesia tapi aku mau ke Swiss.”
        “Boleh, apapun untukmu.”
        Setelah hari pernikahan, aku melihat Sophia lengket dengan Slaven dan mereka benar-benar cocok. Aku dan Inezz kembali ke Jepang dan kami hanya kesana untuk mengunjungi kakek dan nenekku. Aku sangat berharap mereka tidak ingat pada kecelakaan dulu. Setelahnya baru kami tinggal di Swiss sesuai keinginan Inezz.
       “Haha aku sekarang orang sukses, aku punya rumah di swiss dan tempat tinggalku sangat indah, rumah megah bagai katedral.” Ceritaku bangga.
      “Haha, bisa saja,” balas Kakek,” Nek, cucu kita hebat.”
      “Benar.”balas Nenek.
      “Oh ya, saat honeymoon, naik kapal pesiar. Lautnya sangat indah. Mendarat di pantai yang pasirnya putih bersih berkilau, serta udara sejuk.” Sambung Inezz dengan senyuman dan semangat yang khas.
      “Wah, semua berakhir bahagia. Itu mauku. Glory for the Lord. Karena semua doa dan impianku terkabul. Aku berdoa bisa berkumpul bersama kalian. Tuhan benar-benar hebat. Tiada yang mustahil bagi-Nya. Dia membuat segalanya indah pada waktunya.” Kataku bahagia.

                                                     ~ The end ~

Tidak ada komentar: